Akad-akad Muamalah



Akad-Akad
Sumber: Pribadi




QS. Al-Maidah [5]:1:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ
“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu”
Didalam hukum syariah, kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu bentuk usaha atau suatu transaksi diwujudkan dalam bentuk akad. Akad merupakan perikatan, perjanjian, dan pemufakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih, dimana isi kesepakatan tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan hukum-hukum syariah. Akad akan menjadi semacam pedoman dalam bertransaksi, sekaligus mengandung konsekuensi bagi para pihak untuk menaatinya )Laksamana, 2009).
Aqad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti didalam akad masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Aqad  telah disepakati secara rinci dan spesifik tentang terms and condition-nya. Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad (Muhammad, 2011).
Didalam Bank Syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah nanti (Antonio, 2001).
Pengertian akad secara khusus yang diterima oleh banyak pakar fiqh adalah pertalian ijab (yang disampaikan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang disampaikan pihak lain) dengan cara yang menimbulkan pengaruh pada objek kontrak. Sementara kontrak merupakan pertalian antara dua pihak yang timbul karena kesesuaian kehendak keduanya. Ijab dan qabul yang dilakukan oleh setiap pihak yang berkontrak merupakan wujud dari kesesuaian kehendak antara keduanya. Terjadinya ijab dan qabul memengaruhi status objek kontrak. Setiap transaksi yang terjadi antara para pihak, selalu melibatkan kontrak antara keduanya. Walaupun perbedaan antara keduanya bisa dijelaskan, tetapi hakikatnya, kedua-duanya senantiasa tidak bisa dipisahkan. Sebuah transaksi akan menjadi sah apabila syarat dan rukun kontrak telah dipenuhi oleh para pihak (Pradja, 2012).
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut.
1.        Rukun
Seperti penjual, pembeli, barang, harga, dan akad/ijab-qabul
2.        Syarat
Seperti syarat berikut:
a.       Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah
b.      Harga barang dan jasa harus jelas
c.       Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi
d.      Barang yang di traksaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi shortsale dalam pasar modal.
Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dan menanggung risiko usaha dan berbagai jenis hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudarib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Pengelolaan dana tersebut didasarkan pada akad-akad yang disesuaikan dengan kaidah muamalat. Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fikih muamalat membagi akad menjadi dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah (Machmud dan Rukmana, 2010).
Akad tabarru’ yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut non-profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part nya untuk sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Akan tetapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan sehingga bersifat komersil.

Akad Tabarru'
Akad tabarru terbagi dalam tiga jenis transaksi, yaitu:
1.        Transaksi Meminjamkan Uang, yaitu:
a.         Qardh merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang yang dilakukan tanpa ada tujuan keuntungan, namun pihak bank sebagai pemberi pinjaman dapat meminta pengganti biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan kontrak qardh.
b.         Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta pemilik/peminjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuannya untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang dijadikan jaminan dalam kontrak harus memenuhi kriteria berikut: (1) milik nasabah bersangkutan, (2) memiliki ukuran, sifat, dan nilai yang jelas sesuai dengan riil pasar, dan (3) dapat dikuasai oleh bank namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.         Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
2.        Transaksi Meminjamkan Jasa, yaitu:
a.         Wadi'ah, adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan. Prinsip wadi’ah adalah dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua, selaku penerima titipan dengan konsekuensi, titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan, maka wadi’ah dibedakan menjadi wadi’ah ya dhamanah, yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang disisi lain ada wadi’ah amanah, yaitu tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.
b.         Wakalah, yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dan pihak kedua mendapatkan imbalan berupa fee atau komisi.
c.         Kafalah, yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan, yaitu pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi).
3.        Transaksi Memberikan Sesuatu, yaitu transaksi pemberian sesuatu dimana pihak yang memberi tidak mengharapkan sesuatu tersebut dikembalikan kepadanya, contoh: infaq, sedekah, wakaf, hadiah, hibah.

Akad Tijari
Sementara akad tijarah terbagi dalam dua golongan, yaitu:
1.        Natural Certainty Contract (NCC)
Akad yang secara alamiah dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi bisnis dimana cara pembayaran meliputi nilai nominal yang akan dibayar dan jangka waktu pembayaran sudah diketahui secara pasti di awal perjanjian. Bentuk akadnya adalah:
a.         Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
b.         Salam,adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
c.         Istishna, adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
d.        Ijarah, merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
e.         Ijarah Muntahiya Bitamlik, yaitu kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa.
2.        Natural Uncertainty Contract (NUC)
Akad yang secara alamiah tidak dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi bisnis dimana diawal perjanjian belum dapat dipastikan hasilnya. Para pihak yang berakad di awal perjanjian hanya menyepakati nisbah atau besaran persentase bagi hasil untuk masing-masing pihak dari hasil yang akan diperoleh. Bentuk akadnya meliputi:
a.       Musyarakah, adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak bersama-sama berkontribusi dalam dana dan pekerjaan sesuai kesepakatan bersama.
b.      Mudharabah, merupakan akad kerjasama usaha antara shahibul mal (pemilik dana) dengan mudharib (pengelola dana) melalui nisbah bagi hasil menurut kesepakatan dimuka. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian maka seluruh kerugian akan ditanggung oleh pemilik usaha, kecuali adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.

Sumber:
Yusak Laksamana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah: Memahami Praktik Proses Pembiayaan di Bank Syariah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), Hal. 8
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YPKN, 2011) Hal. 85
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001) Hlm.29
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hlm. 111
Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris Di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010) Hlm. 26
Tri Hendro, Conny Tjandra Rahardja, Bank dan Institusi Keuangan Non Bank di Indonesia (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014) Hlm.195
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) Hlm. 92
Mia Lasmi Wardiah, Dasar-dasar Perbankan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) Hlm. 93
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000
Abdul Ghafur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2008) Hlm. 23
Thamrin Abdullah, Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012) Hlm. 224

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Risiko Islami

Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter