Manajemen Risiko Islami



MANAJEMEN RISIKO ISLAMI
Oleh: Achmad Boys Awaluddin Rifai


A.               Pendahuluan
Peran lembaga keuangan yang spesifik dalam proses intermediasi dan system pembayaran akan menyebabkannya menghadapi berbagai risiko yang  tidak dihadapi oleh jenis lembaga lainnya. Untuk itu, setiap lembaga harus mampu mengelola setiap risiko yang dihadapinya.Kenyataan tersebut menuntun sebuah pelaksanaan manajemen risiko yang sangat baik. Setiap lembaga bisnis bertujuan untuk memperoleh return tertentu dari aktifitas bisnisnya. Untuk itu, mereka akan menanggung suatu risiko tertentu sesuai dengan sasaran perolehan yang ingin dicapai.
Menurut Timorita (2011) dalam jurnalnya, risiko sering kali diibaratkan dengan sesuatu hal yang berindikasi negatif. Namun, sebenarnya risiko memiliki arti yang lebih luas dari sekedar itu. Risiko bukan semata-mata kemungkinan mengalami kerugian tetapi juga terdapat kemungkinan memperoleh keuntungan. Sedangkan menurut Megginson, risiko merupakan “variability of return associated with a given asset” yang dapat diartikan sebagai keragaman dari return sebuah asset.
Pengertian risiko dalam kehidupan umum sehari-hari biasa dipahami secara intuitif. Akan tetapi, setiap disiplin ilmu memiliki terminology sendiri. Pengertian risiko, dengan demikian akan sesuai dengan konteks dimana istilah ini digunakan. Pengertian yang dikemukakan umumnya berkaitan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan atau tidak terduga. Kemungkinan ini menunjukkan ketidakpastian dan merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko (Darmawi, 1999).
Bank sebagai institusi yang memiliki  izin untuk melakukan banyak aktivitas, memiliki peluang yang sangat luas dalam memperoleh pendapatan (income/return). Dalam menjalankan aktivitas, untuk memperoleh pendapatan perbankan selalu dihadapkan pada risiko. Pada dasarnya risiko melekat pada seluruh aktivitas bank (Idroes, 2011)
Perbankan di Indonesia menganut sistem dual system banking (bank konvensional dan syariah), tetapi keduanya memiliki perbedaan-perbedaan, dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1

Perbedaan Paradigma Bank Konvensional dan Bank Syari’ah
No
Bank Syariah
Bank Konvensional
1
Melakukan investasi-investasi yang sesuai dengan syariat
Investasi tanpa ada batasan hukum agama
2
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
Memakai perangkat bunga
3
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kredit-debitur
4
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Tidak terdapat dewan sejenis
5
Badan penyelesaian sengketa dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Pengadilan Negeri
6
Memiliki struktur pengawas khusus, yautu Dewan Pengawas Nasional (DPS)
Tidak memiliki pengawas khusus dan hanya sebatas Dewan Komisaris
Kegiatan usaha bank syariah senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks. Oleh karena itu, bank syariah dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan mengenai penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip-prinsip manajemen risiko yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan baku yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Service Board (IFSB) yang merupakan lembaga internasional yang bertujuan merumuskan infrastruktur keuangan Islam dan standar instrumen keuangan Islam untuk mendorong dan meningkatkan tingkat kesehatan dan stabilitas industri jasa keuangan syariah (JKS) dengan mengeluarkan standar kehati-hatian yang bersifat global.
Penerapan manajemen risiko pada perbankan syariah disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Bank Indonesia menetapkan aturan manajemen risiko ini sebagai standart minimal yang harus dipenuhi oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sehingga perbankan syariah dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi, namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai dengan Prinsip Syariah. Ketentuan umum tentang pelaksanaan maanjemen risiko perbankan syariah tertuang dalam ketentuan BI Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang penerapan manajemen risiko bagi BUS dan UUS (Rustam, 2013:35).
Salah satu fungsi utama lembaga keuangan, termasuk bank syariah,  adalah untuk mengelola secara efektif risiko yang ditimbulkannya dalam transaksi keuangan. Untuk menyediakan layanan yang berisiko rendah, lembaga keuangan konvensional telah membangun berbagai kontrak, proses, instrumen, serta kelembagaan yang diperlukan dalam meringankan beban risikonya. Masa depan lembaga-lembaga keuangan syariah, termasuk bank-bank syariah, akan ditentukan oleh besarnya perhatian dan bagaimana mereka akan mengelola berbagai macam risiko yang timbul dari kegiatan operasional mereka.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum harus dihadapi bank syariah.
Tetapi, adanya prinsip syariah pada bank syariah, risiko yang dihadapi menjadi berbeda. Ia harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya risiko- risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip syariah. Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada bank syariah. Kedua, bank syariah harus bias berinovasi mengembangkan teknik baru yang konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasi risiko- risiko lain yang sifatnya unik tersebut.

B.               Pengertian Risiko
Djojosoedarsono (1999) mencatat beberapa pengertian risiko secara umum seperti disampaikan beberapa penulis, antara lain :
1.           Risiko adalah suatu variasi dari hasil-hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu (Arthur Williams dan Richard MH.).
2.           Risiko adalah ketidaktentuan (uncertainty) yang mungkin melahirkan peristiwa kerugian (loos) (A. Abas Salim).
3.           Risiko adalah ketidakpastian atas terjadinya peristiwa (Soekarto).
4.           Risiko merupakan peyebaran/ penyimpangan hasil actual dari hasil yang diharapkan (Herman Darmawi).
5.           Risiko adalah propabilitas suatu hasil/ outcome yang berbeda dengan yang diharapkan (Herman Darmawi).
Dari definisi-definisi tersebut, risiko memiliki karekteristik sebagai berikut:
1.           Merupakan ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa.
2.           Merupakan ketidakpastian yang bila terjadi akan menimbulkan kerugian.

C.               Perhitungan Risiko
1.           Deposit to assets ratio (DTA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur impak dari perubahan deposito terhadap asset. Rasio ini mengukur kemampuan manajemen dalam mengelola dana yang terhimpun melalui deposito untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman. Formula rasio Deposits to assets yang digunakan adalah :
2.           Equity Multiplier (EM)
Formula dari equity multiplier adalah total asset dibagi dengan ekuitas saham biasa. Equity multiplier merupakan rasio financial leverage yang mengevaluasi penggunaan utang untuk pembelian asset perusahaan. Equity multiplier ini biasa digunakan dalam ROE (Return on equity) formula Du Pont. Dalam memahami formula equity multiplier terkait dengan utang, bisa dikatakan bahwa dalam keuangan perusahaan asset perusahaan sama dengan utang ditambah ekuitas.
Equity multiplier menunjukkan sejumlah asset yang dimiliki perusahaan untuk setiap moneter yang dimiliki pemegang saham. Jika keuangan perusahaan didanai keseluruhan dari ekuitas, maka equity multipliernya sama dengan 1. Dimana semakin tinggi angka equity multiplier menunjukkan tingkat leverage makin tinggi. EM membandingkan asset dengan ekuitas, angka EM yang tinggi merefleksikan angka yang besar untuk pendanaan dari utang dibandingkan dengan ekuitas. EM mempengaruhi keuntungan perusahaan karena memiliki dampak pengganda pada ROA untuk menentukan kembali ROE. EM juga merupakan ukuran risiko karena EM merefleksikan berapa besarnya asset terpakai sampai masuk pada kondisi gagal sebelum perusahaan pada kondisi insolvent (bangkrut).
3.           Equity to Deposit (ETD)
Rasio ini menghitung perbandingan shareholder ekuitas dengan rata total deposito nasabah. Rasio ini mengukur kemampuan manajemen menjaga keuangannya untuk memberikan penjaminan kepada para nasabah deposito. Angka rasio yang tinggi mengindikasikan bahwa bank memiliki cukup modal untuk menutupi kewajibannya kepada deposan dibandingkan angka rasio yang kecil. Bank harus mewaspadai penurunan ETD untuk menghindarkan dari kegagalan pemenuhan kewajibannya. Risiko yang tersebar dihadapi bank adalah pencairan deposito maupun tabungan oleh nasabahnya, karena bank tidak bisa memastikan dari sisi waktu dan jumlahnya.
4.           Total Liabilities to Stockholder Equity (TLE)
Rasio TLE mengukur leverage keuangan perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan ekuitas saham. Rasio ini mengindikasikan besarnya porsi ekuitas dan utang perusahaaan yang digunakan untuk mendanai asset. Angka rasio TLE yang tinggi secara umum dapat diartikan perusahaan telah melakukan kebijakan agresif yaitu terlihat dari pertumbuhan utang perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan keuntungan yang berfluktuasi hasil dari tambahan beban bunga. Jika perusahaan banyak menggunakan utang dalam meningkatkan operasional usahanya, perusahaan berpotensi menciptakan keuntungan yang lebih tanpa adanya pendanaan dari luar. Biaya dari pendanaan bentuk utang dapat menjadikan beban yang besar sehingga menjadi beban yang besar bagi operasional perusahaaan. Hal ini dapat berakibat pada kondisi kebangkrutan perusahaan.
Besarnya ngka rasio TLE ini juga sangat bergantung pada jenis industry yang digeluti perusahaan. Misalnya untuk industry manufaktur cenderung rasio TLEnya diatas 2, sedangkan perusahaan computer pribadi cenderung rasio TLEnya dibawah 0,5.
5.           Total Liabilities to Stockholder Capital (TLSC)
Rasio kewajiban pada modal merupakan rasio leverage yang membandingkan total kewajiban terhadap modal saham. Rasio ini mengukur besaran komitmen supplier, kreditor, lender dan obligor pada perusahaan dibandingkan dengan komitmen pemegang saham. Hampir mirip dengan rasio utang. Semakin rendah presentase rasionya dapat diartikan perusahaan menggunakan leverage atau porsi utang yang lebih kecil dibandingkan posisi modal. Rasio ini mengukur porsi pendanaan asset perubahan yang berasal dari utang dan pemegang saham. Prosentase rasio TLSC menghasilkan perpektif angka yang diramatik dari posisi leverage sebuah perusahaan dibandingkan prosentase rasio utang.
Semakin rendah rasio TLSC lebih diharapkan mengindikasikan risiko  yang lebih kecil dibandingkan angka rasio yang tinggi. Angka rasio yang tinggi ini menunjukkan bahwa usaha bisnis perusahaan banyak bergantung pada peminjam (lenders) dari luar hal tersebut merupakan risiko yang besar. Adanya tren kenaikan angka rasio TLSC merupakan peringatan bagi perusahaan karena dapat diartikan prosentase asset yang didanai dari utang mengalami peningkatan. Angka dalam formula rasio ini bisa dirujuk dari laporan keuangan perusahaan.
6.           Retained Earnings to Total Assets (RETA)
Rasio retained earning to total assets mengukur kemampuan perusahaan mengakumulasi keuntungan (earning) dengan menggunakan asset. Semakin tinggi rasio RETA semakin baik karena hal tersebut mengidentifikasi perusahaan mampu menahan keuntungan (earning) yang lebih besar.
Sebelum menginterpretasi lebih dalam rasio RETA, kita perlu memahami yang dimaksud dengan laba ditahan. Laba ditahan merupakan laba dari perusahaan yang telah dihasilkan ebberapa periode yang ditujukan untuk ditahan tidak digunakan untuk pembayaran dividen kepada pemegang saham saat laba dihasilkan.
Rasio ini mengindikasikan besaran asset yang telah digunakan untuk menciptakan laba perusahaan. Rasio RETA mendekati 1:1 (100%) mengindikasikan pertumbuhan perusahaan diciptakan melalui profit bukan dari peningkatan utang. Angka rasio yang rendah mengindikasi pertumbuhan perusahaan mungkin tidak berkelanjutan sebagimana pertumbuhan pertumbuhan yang diciptakan dari peningkatan utang dibandingkan dari reinvestasi dari laba ditahan.
D.               Manajemen Risiko
Manajemen resiko yang merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi (Darmawi, 2006)
Menurut Idroes (2008) didefinisikan sebagai suatu meode logis dan sistematik dalam identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. 
Merujuk pada Hameeda dan Jasim (2012) dalam jurnalnya, mengatakan bahwa manajemen risiko merupakan proses yang berkesinambungan yang tergantung langsung pada perubahan lingkungan internal dan eksternal bank. Perubahan-perubahan dalam lingkungan memerlukan perhatian terus menerus untuk identifikasi risiko dan pengendalian risiko.
Bank Indonesia (PBI No. 5/8/PBI/2003) mendefinisikan risiko sebagai potensi terjadinya peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank. Sehingga, risiko bank dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari tingkat kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa beserta konsekuensinya terhadap bank, di mana setiap kegiatan mengandung kemungkinan itu dan memiliki konsekuensi untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian atau mengancam sebuah kesuksesan
Hubungan antara risiko dan hasil secara alami berkorelasi secara linier negative.Semakin tinggi hasil yang diharapkan, dibutuhkan risiko yang semakin besar untuk dihadapi.Untuk itu, diperlukan upaya yang serius agar hubungan tersebut menjadi kebalikannya, yaitu aktivitas yang meningkatkan hasil pada saat risiko menurun. Manajemen risiko diperlukan untuk (Idroes, 2008):
1.      Mendukung pencapaian tujuan;
2.      Memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan peluang yang jauh lebih tinggi dengan mengambil risiko yang lebih tinggi, risiko yang lebih tinggi diambil dengan dukungan sikap dan solusi yang sesuai terhadap risiko;
3.  Mengurangi kemungkinan kesalahan fatal;
4.    Menyadari bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisasi sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya
            Menurut Karim (2004), sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Dengan demikian, manajemen risiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank. Tujuan manajemen risiko itu sendiri adalah sebagai berikut :
1.        Menyediakan informasi tentng risiko kepada pihak regulator.
2.        Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang bersifat unacceptable.
3.        Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat unacceptable.
4.        Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
5.        Mengalokasikan modal dan membatasi risiko
Berikut dibawah ini perbedaan yang mendasar antara Manajemen Risiko Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia.

Tabel 2 Matrik Perbedaan Manajemen Risiko BUK dan BUS

No
Bank Umum Konvensional
Bank Umum Syariah
1
Risiko Kredit
Risiko Kredit
2
Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas
3
Risiko Pasar
Risiko Pasar
4
Risiko Kepatuhan
Risiko Kepatuhan
5
Risiko Stratejik
Risiko Stratejik
6
Risiko Operasional
Risiko Operasional
7
Risiko Hukum
Risiko Hukum
8
Risiko Reputasi
Risiko Reputasi
9
-
Risiko Imbal Hasil
10
-
Risiko Investasi
Pengelompokkan jenis risiko yang dilakukan oleh BI dan OJK adalah untuk memudahkan melakukan identifikasi risiko yang muncul dan selanjutnya dilakukan pengukuran, pemantauan dan antisipasi dalam rangka  memitigasi risiko. Dikarenakan perbedaan jenis produk yang digulirkan, membuat tambahan jenis risiko bagi LKS
1.        Manajemen Risiko Kredit
Sebagai tambahan untuk hal-hal umum dalam menilai risiko pada bank syariah, ada sejumlah risiko pihak ketiga terkait dengan model pembiayaan syariah, yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak pengawas bank.
a.  Menurut para ahli fikih, bahwa akad murabahah hanya mengikat pihak penjual dan tidak mengikat pihak pembeli. Akan tetapi, beberapa fuqaha yang lain berpendapat sebaliknya, dan hampir semua bank syariah mengikuti pendapat yang kedua ini. Bagaimanapun, Komisi Fikih OKI memutuskan bahwa pihak yang gagal harus bertanggungjawab penuh untuk mengganti kerugian yang diderita bank.
b.  Terdapat banyak risiko pihak ketiga dari akad salam. Diantaranya adalah penyerahan barang yang tidak tepat waktu, barang yang diserahkan tidak sesuai dengan pesanan, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Selain itu, risiko pihak ketiga dalam akad salam tidak hanya bergantung pada factor yang dikendalikan oleh supplier, tetapi juga pada factor yang berada di luar kendalinya. Oleh karena itu risiko kredit yang ada pada akad salam juga signifikan.
c.  Ketika masuk pada akad istishna’, bank syariah mengakui aturan yang ada pada pengembang, kontraktor, produsen barang, dan supplier. Selama  bank tidak menguasai bidang ini, ia harus mempercayakan pada subkontraktor. Hal ini menyebabkan timbulnya risiko pihak ketiga dari  dua arah. Salah satunya adalah risiko kegagalan dari nasabah bank. Ini sama dengan yang terjadi pada murabahah dan juga risiko kredit yang dihadapi bank konvensional. Selain itu, juga ada risiko kegagalan dari subkontraktor untuk memenuhi kewajibannya secara efisien dan tepat waktu.
d.  Beberapa ulama tidak membolehkan bank syariah untuk melakukan akad ijarah yang diakhiri dengan kepemilikan. Meskipun demikian, ijarah yang banyak dipraktikan pada bank syariah hampir sama dengan pembiayaan leasing yang dibolehkanoleh beberapa ahli. Adanya perbedaan ini menjadi sumber risiko yang serius dalam akad ijarah, karena tidak adanya standar legitimasi yang jelas.
2.        Manajemen Risiko Pasar
Risiko pasar terdiri atas risiko suku bunga, risiko nilai tukar valuta asing dan komoditas, dan juga risiko harga ekuitas. Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga menghadapi risiko suku bunga adalah salah satu jenis risiko pasar yang sangat penting bagi lembaga keuangan konvensional. Selama bank syariah tidak bertransaksi dengan instrument suku bunga, maka dapat dikatakan bahwa bank syariah tidak mempunyai risiko ini. Namun, pada kenyataannya bank syariah secara tidak langsung juga menghadapi risiko ini melalui mark-up harga pada jual beli kredit dan transaksi leasing.
3.        Manajemen Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas timbul karena terjadi penurunan yang tidak diharapkan pada arus kas bersih (net cash flow) dan bank tidak mampu untuk meningkatkan sumber-sumber dananya dengan biaya yang rasional, baik dengan cara menjual asset atau dengan meminjam dana melalui penerbitan instrument keuangan yang baru. Hal ini bisa menyebabkan bank tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya dan atau membiayai bisnis yang profitable. Oleh karena itu, peran manajemen likuiditas adalah sangat penting bagi bank untuk menghindari masalah likuiditas yang lebih serius.
Risiko likuiditas yang dihadapi oleh bank syariah saat ini terlihat lebih rendah, hal ini karena bank syariah menghadapi kelebihan likuiditas sebagai akibat dari tidak tersedianya instrument yang sesuai dengan syariah. Namun, banyak hal yang dapat meningkatkan risiko likuiditas di masa mendatang. Pertama, masih tingginya rekening giro yang dapat ditarik setiap saat. Kedua, adanya batasan fikih dalam jual beli utang, yang merupakan bagian utama dari asset (Rustam, 2013).
4.          Manajemen Risiko Operasional
Risiko operasional yang timbul dari bank dibandingkan dengan apa yang diharapkan. Lemahnya pengawasan internal dan tata kelola perusahaan juga dapat menyebabkan jatuhnya pendapatan atau arus kas bersih. Bank syariah juga menghadapi risiko yang berkaitan dengan persoalan fikih sebagai akibat dari tidak adanya standar produk bank syariah. Selain itu, sistem legitimasi syariah yang efisien dan cepat dari bank juga tidak ada, dan otoritas pengawasan pun kurang memahami masalah fikih. Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga kurang menguasai konsep manajemen risiko modern. Hal ini mengakibatkan bank syariah tidak menerapkan konsep manajemen risiko dan system-sistem lainnya yang sedianya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Risiko operasional juga timbul dari teknologi, reputasi dan kepatuhan terhadap kepatuhan standar perundang-undangan, dan lain-lain. Eksposur sebagian besar bank syariah dalam risiko- risiko ini adalah relatif tinggi tetapi sejauh ini bank syariah mampu mengelolanya dengan baik (Rustam, 2013).
5.        Manajemen Risiko Hukum
Risiko hukum adalah risiko yang timbul akibat tuntutan hukum dan /atau kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul antara lain karena ketiadaan peraturan undang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Kegagalan manajemen risiko hukum dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan bias mengalami kebangkrutan. Untuk itu, tujuan utama manajemen risiko hukum adalah memastikan bahwa proses manajemen risiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negative dari kelemahan aspek yuridis, ketiadaan, dan/atau perubahan peraturan perundang-undangan dan proses litigasi (Rustam, 2013).
6.        Manajemen Risiko Strategis
Risiko strategis adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko ini timbul antara lain karena bank syariah menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana straegis antar level strategis. Selain itu, risiko strategis juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait.
Risiko strategis dapat bersumber antara lain dari kelemahan dalam proses formulasi strategi dan ketidaktepatan dalam perumusan strategi, sistem informasi manajemen (SIM) yang kurang memadai, hasil analisis lingkungan internal dan eksternal yang kurang memadai, penetapan tujuan strategi yang terlalu agresif, ketidaktepatan dalam implementasi strategi, dan kegagalan mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Kegagalan manajemen risiko strategis dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu tujuan utama manajemen risiko strategis adalah untuk memastikan bahwa proses manajemen risiko dapat meminimalisir kemungkinan dampak negatif dari ketidaktepatan pengambilan        keputusan        strategis           dan            kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Penilaian proses penerapan manajemen risiko strategis yang efektif harus dilengkapi dengan sistem pengendalian internal yang andal. Penerapan sistem pengendalian internal secara efektif dapat membantu pengurus bank syariah menjaga asset bank, menjamin tersedianya pelaporan keuangan, dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan bank syariah terhadap ketentuan,dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan, dan pelanggaran aspek kehati-hatian. Terselenggaranya sistem pengendalian internal bank syariah yang andal dan efektif menjadi tanggungjawab dari seluruh satuan kerja operasional dan satuan kerja pendukung serta Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) (Rustam, 2013).
7.        Manajemen Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan adalah risiko akibant bank syariah tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, serta prinsip syariah. Risiko kepatuhan dapat bersumber antara lain dari perilaku setidaknya, yakni perilaku atau aktivitas bank yang menyimpang atau melanggar dari ketetntuan atau peraturan perundang-undnagan yang berlaku.
Bentuk risiko ini diantaranya ketidakmampuan bank syariah memenuhi dan melaksanakan turan supervisor tentang ketentuan KPMM, KAP, PPAP, BMPK, PDN, RKAT, GWM, LDR, atau tidak memenuhi ketentuan supervisor lainnya. Risiko ini juga tidak dipatuhinya ketetntuan dalam penyediaan produk, ketentuan dalam pemberian pembiayaan, ketentuan perpajakan, ketentuan dalam akad, dan kontrak serta fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Risiko ketidakpatuhan juga bias terjadi pada ketidakpatuhan unit operasional bank syariah melanggar kebijakan manajemen terhadap suatu transaksi bank syariah.
Kegagalan manajemen risiko kepatuhan dapat menimbulkan penarikan besar-besaran dana pihak ketiga, menimbulkan masalah likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas, dan bahkan bisa mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, tujuan utama manajemen risiko untuk risiko kepatuhan adalah untuk memastikan bahwa proses manajemen risiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari perilaku bank syariah yang menyimpang atau melanggar standar yang berlaku secara umum, ketentuan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bank syariah perlu memiliki sistem pengendalian internal dalam melakukan manajemen risiko untuk risiko kepatuhan yang bertujuan untuk memastikan tingkat responsif bank syariah terhadap penyimpangan standar yang berlaku secara umum, seperti ketentuan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Rustam, 2013).
8.        Manajemen Risiko Reputasi
Menurut regulasi, risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan para pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negative dari bank syariah. Risiko ini timbul karena antara lain karena adanya pemberitaan media dan rumor mengenai bank syariah yang bersifat negative, serta adanya strategi komunikasi bank syariah yang kurang efekif.
Karim (2004) menyatakan bahwa hal- hal yang sangat berpengaruh terhadap reputasi antara lain, manajemen, pelayanan yang disediakan, pemegang saham, penerapan prinsip-prinsip syariah, dan publikasi. Apabila manajemen dalam pandangan para pemangku kepentingan dinilai baik, risiko reputasi menjadi rendah. Begitupun perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang kuat, maka risiko reputasi juga rendah. Risiko reputasi menjadi tinggi ketika pelayanan yang kurang baik. Penerapan primsi-prinsip syariah haruslah dilaksanakan secara konsekuen agar tidak timbul penilaian negatif terhadap penerapan system syariah yang dapat mengakibatkan timbulnya publikasi negatif sehingga akan menaikkan tingkat risiko reputasi.
9.        Manajemen Risiko Imbal Hasil
Menurut regulasi risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah risiko akibat perubahan timgkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank.
Risiko ini timbul antara lain karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari bank syariah. Perubahan ekspektasi bias disebabkan oleh faktor internal seperti menurunnya nilai aset bank dan/atau faktor eksternal seperti naiknya return imbal hasil yang ditawarkan oleh bank lain. Perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil tersebut dapat memicu perpindahan dana dari bank kepada bank lain. Misalnya, Bank Zahrah Syariah (BZS) mengharapkan hasil  sebesar tujuh persen dari asetnya (piutang murabahah, salam, istishna’, ijarah dan pembiayaan) yang nantinya akan dibagi hasilkan kepada investornya (pemegang rekening investasi deposito dan tabungan mudharabahnya). Pada saat yang sama Bank Indonesia rate naik menjadi delapan persen. Dengan demikian suku bunga pasar lebih tinggi dari yang diharapkan bank syariah. Para investor sudah pasti akan berharap imbal hasil yang akan diterimanya juga minimal sama dengan delapan persen (Rustam, 2013).
10.     Manajemen Risiko Investasi
Menurut peraturan Bank Indonesia (PBI) risiko investasi ekuitas (equity investment risk) adalah risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing. Dalam hal ini, perhitungan bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan yang diperoleh nasabah, namun dihitung dari keuntungan usaha yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami kebangkrutan, jumlah pokok pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah tidak akan diperoleh kembali.
Inilah perbedaan dari bank konvensional dan bank syariah karena bank konvensional tidak berinvestasi pada aset berbasis ekuitas. Investor disekitar ini tentu saja menyebabkan ketidakstabilan dalam pendapatan bank syariah dan memiliki efek pada risiko likuiditas, risiko kredit, dan risiko pasar.
Risiko investasi didefinisikan sebagai risiko yang muncul dari partisipasi dalam keuangan atau aktivitas bisnis lain yang disebutkan dalam menyediakan dana untuk sharing modal dalam bisnis yang berisiko. Bank syariah memiliki risiko investasi pada kontrak mudharabah dan musyarakah. Bank syariah menggunakan instrument ini secara substansial berpengaruh terhadap pendapatan bank, likuiditas, dan risiko lain serta volatilitas pendapatan dan modal.
Salah satu yang membedakan mudharabah dan musyarakah adalah besarnya keterlibatan dalam investasi pada masa kontrak. Di dalam mudharabah, bank syariah menginvestasikan uang sebagai silent partner, manajemen secara eksklusif bertanggungjawab kepada pihak lain yang biasa disebut dengan mudharib. Berbeda dengan musyarakah mitra menginvestasikan dananya dan bias sebagai silent partner atau berpartisipasi sebagai manajemen (Rustam, 2013).
E.               Manajemen Risiko Perspektif Syariah
Sebagai lembaga intermediasi yang menghubungkan antara unit deficit dengan unit surplus, bank Islam tidak bisa terlepas dari berbagai risiko yang dapat mengganggu kelangsungan usahanya. Berbagai risiko harus dihadapi oleh bank Islam, bahkan sejak bank tersebut mengumpulkan dana dari masyarakat. Apabila, risiko yang dihadapi bank Islam berbeda dengan bank konvensional.
Menurut Hafidhuddin dan Tanjung (2003), ada hal yang dibahas dalam manajemen Islam/Syariah yaitu pertama, perilaku yang terkait dengan keimanan dan ketauhidan. Jika setiap perilaku orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan dilandasi dengan nilai tauhid, maka diharapkan perilakunya akan terkendali dan tidak terjadi perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) karena menyadari adanya pengawasan dari yang Maha Tinggi yaitu Allah SWT. Yang akan mencatat setiap amal perbuatan yang baik maupun yang buruk. Firman Allah dalam Al-Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)Nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)Nya pula.

Kegiatan perniagaan (bisnis) merupakan salah satu fitrah dari manusia karena dengan berniaga manusia dapat memenuhi berbagai keperluannya. Setiap bisnis yang dijalankan oleh manusia pasti akan menimbulkan dua konsekuensi dimasa depan, yaitu keuntungan dan kerugian. Keduanya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis. Tidak ada satu pun yang bisa menjamin bahwa bisnis yang dijalankan oleh seseorang akan mengalami keuntungan atau kerugian dimasa depan. Dengan demikian, risiko itu sendiri merupakan fitrah yang senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.
Pada ayat lain yang berkenaan dengan manajemen risiko dalam pertimbangan yang penting, pada surat Lukman: 34 :
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; Dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam Rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apayang akan diusahakan besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Dalam Hadits juga dikisahkan, salah seorang sahabat Rasulullah Saw.yang meninggalkan untanya tanpa diikatkan pada sesuatu, seperti pohon, tonggak dan lain-lain, lalu ditinggalkan. Beliau s.a.w. bertanya: "Mengapa tidak kamu ikatkan?" Ia menjawab: "Saya sudah bertawakkal kepada Allah." Rasulullah Saw. tidak dapat menyetujui cara berfikir orang itu, lalu bersabda, "Ikatlah dulu lalu bertawakkallah." Ringkasnya tawakkal tanpa usaha lebih dahulu adalah salah dan keliru menurut pandangan Islam. Adapun maksud tawakkal yang diperintahkan oleh agama itu ialah menyerahkan diri kepada Allah sesudah berupaya dan berusaha serta bekerja sebagaimana mestinya. Misalnya meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci baik-baik, lalu bertawakkal. Artinya apabila setelah dikunci itu masih juga hilang misalnya dicuri orang, maka dalam pandangan agama orang itu sudah tidak bersalah, sebab telah melakukan ikhtiar supaya jangan sampai hilang. Makna tawakal ini yang diartikan sebagai manajemen risiko
Kaidah الخراج بااضمان , yang juga diriwayatkan sabda Rasulullah SAW “ Pendapatan sesuai dengan tanggungan risiko” (Imam Ibnu Majah, 3/753) dan الغنم بااغرم yang berarti profit muncul bersama risiko/ risiko itu menyertai manfaat, ini berarti Islam melarang setiap jenis transaksi yang di dalamnya terjadi ketidakseimbangan antara risiko dan keuntungan. Dengan kata lain, Islam melarang setiap jenis transaksi yang menghasilkan keuntungan tanpa adanya kesedihan menanggung kerugian. Itulah mengapa Islam melarang adanya tambahan (bunga) dalam transaksi utang seperti yang biasa terjadi dalam system keuangan konvensional. Pemberi pinjaman tidak memiliki risiko apapun atas dana yang dipinjamkannya karena Islam mewajibkan setiap peminjam untuk melunasi uangnya. Oleh karena itu, setiap tambahan atas utang diperbolehkan, maka ketidakadilan akan terjadi dimana-mana. Seorang pemberi pinjaman tanpa melakukan usaha dapat memperoleh keuntungan yang besar sementara si peminjam harus bersusah payah untuk melunasi utang beserta bunganya kepada pemilik dana. Inilah yang membuat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin lebar. Si miskin yang berutang tidak akan pernah bisa bangkit dari kemiskinan karena terus dililit oleh besarnya bunga utang sementara si kaya akan makin kaya karena uangnya dapat berlipat ganda tanpa harus bersusah payah menjalankan usaha

Daftar Pustaka
Hameeda Abu Hussain, Jasim AlAjmi, (2012) "Risk management practices of conventional and Islamic banks in Bahrain", The Journal of Risk Finance, Vol. 13 Issue: 3, pp.215-239, https://doi.org/10.1108/15265941211229244
Rustam, Bambang Riyanto, 2013. Manajemen Risiko Perbankan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Idroes, Ferry, 2008. Manajemen Risiko Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Idroes, Ferry, 2011. Manajemen Risiko Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Darmawi, Herman. 1999. Manajemen Risiko. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Darmawi, Herman. 2006. Manajemen Risiko. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Djojosoedarso. 1999. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta: Salemba Empat
Karim, Adiwarman A (2004), Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Rafa Grafindo Persada.
Didin, Hafidhuddin dan Hendri Tanjung. Manajemen Syariah Dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2003


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akad-akad Muamalah

Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter