Zakat Pada Masa Umar bin Abdul Aziz
Pengelolaan atau Model Zakat Masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Oleh: A. Boys A. Rifa’i
Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (717 M) adalah tokoh terkemuka yang patut dikenang
sejarah, khususnya dalam hal pengelolaan zakat. Di tangannya, pengelolaan zakat
mengalami reformasi yang sangat memukau. Semua jenis harta kekayaan wajib
dikenai zakat. Pada masanya, sistem dan manajemen zakat ditangani dengan amat
profesional. Jenis harta dan kekayaan yang dikenai wajib zakat semakin beragam.
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz adalah orang pertama yang mewajibkan zakat dari
harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil jasa, termasuk
gaji, honorarium, penghasilan berbagai profesi dan berbagai mal
mustafad lainnya. Sehingga pada masa kepemimpinannya, dana zakat melimpah
ruah tersimpan di Baitul Mal. Bahkan petugas amil zakat kesulitan mencari
golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat. Beberapa faktor utama yang
melatarbelakangi kesuksesan manajemen dan pengelolaan zakat pada masa Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Pertama, adanya kesadaran kolektif dan
pemberdayaan Baitul Mal dengan optimal. Kedua, komitmen tinggi seorang pemimpin
dan didukung oleh kesadaran umat secara umum untuk menciptakan kesejahteraan,
solidaritas, dan pemberdayaan umat. Ketiga, kesadaran di kalangan muzakki
(pembayar zakat) yang relatif mapan secara ekonomis dan memiliki loyalitas
tinggi demi kepentingan umat. (Faisal)
Umar
sangat memerhatikan pengembangan sistem zakat. Umar memberlakukan sejumlah
kebijakan, yaitu pertama, Membagi beberapa kategori penyaluran zakat, antara
lain zakat untuk orang sakit, kaum difabel, dhuafa, dan orang yang terlilit
hutang. Kedua, untuk menyiasati terhimpunnya kebutuhan anggaran zakat, Umar
menghemat seluruh pendapatan kas dan negara (Republika, 2017)
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, Dan diterima dari Zureiq, maula dari Bani Fuzarah, bahwa
Umar bin Abdul Aziz menulis surat padanya, yakni setelah ia diangkat menjadi
khalifah: “Pungutlah dari setiap saudagar Islam yang lewat dihadapanmu –
mengenai harta yang mereka perdagangkan – satu dinar dari setiap empat puluh
dinar! Jika kurang, maka dikurangkan pula menurut perbandingannya, hingga
banyaknya sampai dua-puluh dinar. Jika kurang dari itu walau sepertiga dinarpun,
biarkanlah jangan dipungut segurusy-pun juga! Dan tulislah bukti lunas
pembayaran mereka yang berlaku sampai tanggal tersebut di tahun depan” (Sayyid
Sabiq)
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur
Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di
Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Satu
kondisi yang berbeda dengan negeri kita dimana orang berebut hanya untuk
menerima zakat, meski nyawa taruhannya. Mindset dan izzah prilaku muslim yang
perlu menjadi perhatian bersama antara muzaki dan mustahik. Lalu Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah.
Lalu Yazid menjawab:”sudah diberikan namun dana zakat masih
berlimpah di Baitulmaal”. Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan
kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata:”kami sudah bayarkan
hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu Umar bin Abdul
Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya.
Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di
Baitul Maal masih berlimpah. Pada
akhirnya Umar bin Abdul memerintahkan
Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan membutuhkan
modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya. (Ahmad
Shonhaji)
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz Dalam
melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih bersifat
melindungi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi
beban pajak yang dipungut kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum muslimin,
membuat aturan takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki
tanah pertanian, penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan-jalan, pembuatan
tempat-tempat penginapan musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai
kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan
hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. (Euis Amalia)
Lebih
Jauh, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap
wilayah Islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak secara
sendiri-sendiri dan tidak mengharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah
pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada
wilayah Islam yang minim pendapat zakat dan pajaknya. (Euis Amalia)
Dengan
demikian, masing masing wilayah Islam diberi kekuasaan untuk mengelola
kekayaannya. Jika terdapat surplus, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyarankan
agar wilayah tersebut memberikan bantuan kepada wilayah yang minim
pendapatannya. Untuk menunjung hal ini, ia mengangkat Ibn Jahdam sebagai amil
shadaqah yang bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara
merata keseluruh wilayah Islam. (Euis Amalia)
Pada
masa-masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat,
hasil pampasan perang, pajak penghasilan pertanian (pajak ini diawal
pemerintahannya Umar ibn Abdul Aziz ditiadakan mengingat situasi ekonomi yang
belum kondusif. Setelah stabilitas perekonomian masyarakat membaik, pajak ini
diterapkan), dan hasil pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat
luas. (Euis Amalia)
Under
the reign of Umar bin Abdul Aziz (Umayyah Goverment), the governor of egypt
wrote to him asking what to do with
zakat funds as no deserving poor and
needy all over the country. Umar bin Abdul Aziz answered: “buy slaves and let
them free, build shelter for travelers to rest and help young men and women to
get married”. Thus, it indicates that the effect of zakat distribution will
eliminate the poverty if zakat is managed properly. During his administration,
zakat on income earned by goverment employee was levied on regular basis
(monthly basis). This was his ijtihad to introduce new sources of zakatable
items (al-amwal al-zakawiyyah). This open the door for further exploration and
ijtihadon new sources of zakatable wealth. Exhibit 1 shows the historical
evolution of zakat collection and disbursement from earlier period of the
prophet Muhammad (pbuh) until the period of the caliphates (Irfan Syauqi Beik and Nursechafia)
Exhibit 1
Early Zakat
Management in Comparison
Aspects
|
Early Age
|
Period of the Caliphs
|
Collecting
agent
|
The
appointed zakat workers (amil) under simple state structure
|
Goverment
bodies in more complex structure
|
Disbursement
program
|
Dominated
by consumptive-based programs; few attempts on productive-based programs
|
Some
improvisations in the disbursement program
|
Zakatable
objects
|
Limited
of the sources explicitly mentioned in the qur’an and hadith
|
Sources
of zakatable object were expanded following economic development of the ummah
|
Management
of zakat
|
Simple
structure of amil administration; limited territorial coverage
|
More
complex institutional structure; wider territorial coverage
|
Rules
and governance
|
Rules
and regulation on zakat were under direct guidance if the prophet
|
In
addition to the Qur’an and Hadith, rules and regulations on zakat started to
emerage despite it’s simplicity
|
(Irfan Syauqi Beik, Nursechafia, Toward an Establishment of
an Efficient and Sound Zakat System)
Pengalokasian
subsidi ke masyarakat yang berdaya beli rendah sebagai tujuan distribusi zakat,
terus ditingkatkan pada masanya. Umar menyadari bahwa zakat merupakan sebuah
instrumen pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan (growth dan equity). Dari sinilah
terlihat konsep demokrasi ekonomi Umar yang tidak harus diartikan sebagai
berlakunya prinsip equal treatment (perlakuan
sama), tetapi ada orang yang tidak berpunya perlu memperoleh pemihakan dan
bantuan yang berbeda (partial treatment). Sehingga
bantuan kepada masyarakat miskin dan jaminan hidup layak yang berkecukupan
kepada mereka, sangat diprioritaskan (Ayief Fathurrahman)
Konsep
kebijakan fiskal Umar bin Abdul Aziz dalam konteks saat ini adalah sebagai
berikut (Mukhoer Abdus Syukur):
·
Desentralisasi dan dekonsentralisasi sistem pengelolaan zakat. Desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus
urusan yang ada di daerah. Sedangkan Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
administrasi dari pemerintah pusat kepada pejabat di daerah. Pemerintah
memberikan wewenang kepada masing-masing daerah untuk mengelolan potensi dana
zakat yang dimiliki dan didistribusikan sesuai dengan kadar yang ditentukan
dari masing-masing daerah kepada yang berhak menerima zakat (mustahiq)
·
Subsidi silang, daerah yang mengalami surplus dalam neraca
keuangannya diharuskan memberikan bantuan kepada daerah yang mengalami defisit
dalam keuangan. Dengan seperti itu, jumlah daerah yang defisit akan dengan
mudah diminimalisir
Umar
bin Abdul Aziz menetapkan pemungut zakat di setiap daerah, beliau berpesan
kepada pemungut zakat untuk memungut shadaqah ketika zakat sudah ditunaikan
kewajibannya. Beliau sangat memperhatikan kaum fuqara, miskin dan ibnu sabil.
Beliau membangun daar el-tho’am (rumah makan) tempat khusus bagi tiga golongan
tersebut. (Badawi Abdul Latif Al-Azhar)
Adalah
suatu fakta sejarah bahwa pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, tepatnya pada
masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, tercapai suatu kondisi kemakmuran dan
kesejahteraan di seluruh wilayah Islam. Fakta ini diungkap diantaranya
berdasarkan kesaksian dari Yahya bin Said, ia berkata, “pada suatu hari, Umar
bin Abdul Aziz menyuruhku mengambil zakat bangsa afrika dan memberikannya
kepada orang miskin. Namun aku tidak menemukan satupun orang miskin, dan tidak
ada seorangpun yang mau mengambil zakat dari kami. Sungguh, Umar bin Abdul Aziz
telah membuat rakyatnya menjadi kaya. (Karnaen A. Perwataatmadja & Anis
Byarwati)
Komentar
Posting Komentar