Buku Kesyariahan Kartu Kredit Syariah di Indonesia
Buku
Kesyariahan Kartu Kredit Syariah Di Indonesia
How to cite:
ABA Rifai (2020) Kesyariahan Kartu Kredit Syariah di Indonesia. Banten: YPSIM Banten
KATA PENGANTAR
Puji
syukur hanya milik Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya, atas segala nikmat dan hidayah yang diberikan sehingga saya
dapat menyusun buku yang berjudul “Kesyariahan Kartu Kredit Syariah di Indonesia”. Buku ini merupakan tesis penulis pada program Magister Ilmu
Ekonomi di Universitas Trisakti Jakarta.
Buku ini diharapkan mampu memberikan memberikan konstribusi teoritis atau
referensi para pembaca mengenai kebutuhan produk atau jasa perbankan berbasis
Syariah sehingga dapat
menjadi bahan rujukan di dalam memenuhi kebutuhannya terhadap lembaga keuangan
syariah. Kedua, dapat
dijadikan sebagai bahan kajian dan pertimbangan bagi para praktisi terutama
perusahaan pelayanan jasa pembiayaan pada bank syariah dan bahkan lembaga keuangan konvensional.
Buku ini mendeskripsikan operasional kartu kredit syariah
yang ada di Indonesia kemudian mengkomparasikannya dengan ketentuan-ketentuan
pada fatwa DSN-MUI serta mengetahui kesyariahan akibat penggunaan kartu kredit
syariah di lapangan. Pembahasan dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan
metode deskriptif kualitatif melalui studi pustaka dan wawancara dan deskriptif
kuantitatif melalui penyebaran kuesioner kepada para pengguna kartu kredit
syariah di Indonesia untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan atas
penggunaannya.
Kesimpulannya bahwa kartu kredit syariah tidak sesuai syariah dalam
beberapa aspek diantaranya, ketidaksesuain pada penetapan biaya keterlambatan
pembayaran tagihan yang disesuaikan dengan jumlah hari keterlambatan. Kedua,
adanya keterbatasan kartu kredit syariah dalam membatasi transaksi non halal.
Ketiga, adanya penetapan biaya administrasi pada suatu
program yang
dikaitkan dengan besarnya jumlah outstanding penggunaan kartu. Selanjutnya dalam hasil
sebaran kuesioner terhadap pengguna kartu kredit syariah ditemukan bahwa para pemegang kartu kredit
syariah cenderung menggunakannya untuk berbelanja secara berlebihan karena
mereka merasa memiliki daya beli lebih tinggi dari yang sebenarnya dan mereka
cenderung menggunakan kartu bukan pada kondisi darurat.
Terimakasih disampaikan kepada ayahanda H. M Rifai, Drs. SH dan ibunda
serta adik dan istriku tercinta yang selalu memberikan support. Terimakasih
juga disampaikan kepada Dr. Tatik Mariyanti, MS, Dr. Edy Aswandi M.Si, AA Hubur, Lc., Dr Ruslan Husein
Marasabessy, Irwan Maulana, Lc., M.Si atas kontribusi dalam penyempurnaan buku
ini. Terimakasih kepada Bapak M Yana Aditya CEO PT Perikanan Nusantara yang
telah membantu sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan magister saya.
Terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian buku
ini.
Saya menyadari masih
terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap
penyempurnaan buku ini sangat diharapkan melalui email aboyrifai@gmail.com.PENDAHULUAN
Hadirnya bank syariah di Indonesia sejak tahun 1991 menjadi sebuah
momentum bagi masyarakat muslim Indonesia khususnya untuk tahu dan sadar akan pentingnya
bertransaksi menggunakan bank syariah demi mengikuti ajaran syariat. Sistem perbankan syariah diharapkan menjadi solusi sistem
perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (nasabah dan bank),
didukung dengan keanekaragaman produk
dan skema keuangan yang dilakukan berasaskan prinsip syariat Islam
serta prinsip keterbukaan (tranparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional)
dan kewajaran (fairness) agar
adil bagi para stakehodel maupun shareholder. Berbeda jelas dengan bank
konvensional yang menjalankan fungsinya berdasarkan sistem bunga.
Pada tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan
fatwa No.1 tentang bunga bahwa praktek pembungaan uang pada lembaga keuangan
konvensional telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah
SAW, yakni riba nasi'ah.
ٱلَّذِينَ يَأۡڪُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ مِنَ
ٱلۡمَسِّۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن
جَآءَهُ ۥ مَوۡعِظَةٌ۬ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُ ۥ مَا سَلَفَ
وَأَمۡرُهُ ۥۤ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ
ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيہَا خَـٰلِدُونَ
"Orang yang makan(mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan
lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah
disebabkan mereka berkata(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu(sebelum datang larangan); dan urusannya(terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal didalamnya". QS Al-Baqarah: 275
Ayat di atas telah jelas menggambarkan dampak dan
adzab yang ditimbulkan oleh perilaku Riba.
Berdasarkan
dalil ini pula, maka perbuatan riba termasuk dalam kategori dosa besar, karena mengambil
keuntungan dari orang yang sedang mengalami kesusahan (Tobin, 2014). Riba sangat-sangat
diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi
piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga,
baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari
keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya,
dari penulisnya, saksinya juga dilaknati (Abbas, 2015, h.84).
Pangsa pasar bank syariah per Desember 2019 sudah mencapai 6,13% dengan total aset Rp524,6 triliun dibanding bank
konvensional dengan total aset Rp8.562,9 triliun. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mengkonsumsi
produk dan jasa bank konvensional.
Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, bank syariah menawarkan
produk dan jasa yang pada dasarnya tidak
terlalu berbeda dengan bank konvensional tetapi dengan menggunakan
akad-akad syariah (Ascarya, 2012). Salah satu produk yang ditawarkan adalah
kartu kredit syariah, bank syariah melihat adanya kebutuhan masyarakat
mayoritas muslim Indonesia sebagai produk yang praktis dan aman sehingga
memudahkan pelbagai transaksi (Yusuf, 2011).
Dilihat pada gambar diatas, rata-rata jumlah kartu kredit beredar di Indonesia dari tahun 2014
sampai 2018 bertambah seginifikan setiap tahunnya. Sampai saat ini terdapat 24 lembaga penerbit
kartu kredit, dengan jumlah kartu kredit yang beredar secara keseluruhan pada
Februari 2018 sebanyak 17.438.938 kartu, termasuk didalam nya kartu kredit syariah dari Bank BNI Syariah dan Bank CIMB Niaga Syariah
sebanyak kurang lebih 586.000 kartu.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) telah membolehkan
penggunaan kartu kredit syariah (syariah card) melalui penerbitan fatwa kartu kredit syariah No. 54 Tahun 2006
tentang Syariah Card. Sejak terbitnya fatwa tersebut sampai saat ini baru ada
tiga bank syariah dari 34 bank syariah yang ada, yang “berani” dan mau menerbitkan
kartu kredit syariah, diantaranya Bank Danamon Syariah menerbitkan Dirham Card pada tahun
2007, Bank BNI Syariah menerbitkan IB Hasanah Card pada tahun 2009 dan Bank
CIMB Niaga Syariah menerbitkan Syariah Card. Namun saat ini hanya ada dua kartu
kredit syariah saja di Indonesia, karena Dirham Card telah ditarik peredarannya
pada tahun 2013.
No
|
Nama Penerbit
|
No
|
Nama Penerbit
|
1
|
Bank Bukopin
|
13
|
Bank Ocbc Nisp
|
2
|
Bank Central Asia
|
14
|
Bank Permata
|
3
|
Bank Cimb Niaga
|
15
|
Bank Qnb Indonesia
|
4
|
Bank Danamon Indonesia
|
16
|
Bank Rakyat Indonesia (Persero)
|
5
|
Bank DBS Indonesia
|
17
|
Bank Sinarmas
|
6
|
Bank HSBC Indonesia
|
18
|
Bank Uob Indonesia
|
7
|
Bank MNC Internasional
|
19
|
Bni Syariah
|
8
|
Bank ICBC Indonesia
|
20
|
Citibank
|
9
|
Bank Mandiri (Persero)
|
21
|
Pan Indonesia Bank
|
10
|
Bank Maybank Indonesia
|
22
|
Pt. Aeon Credit Services
|
11
|
Bank Mega
|
23
|
Pt. Shinhan Indo Finance
|
12
|
Bank Negara Indonesia 1946 (Persero)
|
24
|
Standard Chartered Bank
|
Sumber: www.bi.co.id
Tabel diatas merupakan daftar para
penerbit kartu kredit yang ada di Indonesia, terdapat 24 penerbit kartu kredit
dan hanya dua penerbit yang menerbitkan kartu kredit syariah yaitu Bank CIMB
NIAGA melalui Unit Usaha Syariahnya dan BNI Syariah. Sementara 22 penerbit
lainnya menerbitkan kartu kredit konvensional berbasis bunga. Kartu kredit
dalam arti konvensional adalah alat pembayaran praktis di era modern yang
memberikan fasilitas penggunanya untuk berbelanja tanpa membawa uang tunai,
dengan mencicil pembayarannya dengan menggunakan sistem persentase bunga.
Berbeda makna dan sistem dengan kartu kredit syariah yang berfungsi
seperti kartu kredit yang hubungan hukum antara para pihak berdasarkan prinsip
Syariah.
Produk
kartu kredit syariah lahir dari financial engineering, adaptasi dari
produk kartu kredit konvensional yang disesuaikan dengan prinsip syariah demi
memenuhi kebutuhan pasar. Menurut Kasmir (2012), pada awalnya kartu kredit
diterbitkan kepada masyarakat untuk memberi rasa aman dan praktis dalam penggunaannya
dan disertai berbagai macam fungsinya. Perkembangan kartu kredit semakin pesat
di perkotaan dan menjadi gaya hidup untuk digunakan pada banyak tempat publik
dan layanan masyarakat yang penggunaannya cukup dengan 'menggesek' kartu untuk
mendebit nilai transaksi yang diinginkan. Sementara dalam syariah, fenomena
utang piutang tidak bisa dijadikan gaya hidup, perlu masuk dalam tahap
kebutuhan dharuriyat sehingga diperbolehkan berutang untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, seperti yang lakukan Rasulullah SAW bahwa beliau pernah
berutang 3 sha’ gandum kepada orang Yahudi dengan menggadai baju besinya. Apa
yang diajarkan Nabi SAW memberi pelajaran bagi kita bahwa utang adalah pilihan
terakhir ketika tidak ada yang lainnya. Sehingga utang tidak dijadikan kebiasaan,
apalagi gaya hidup.
Menurut
Mustafa (2015) dalam tulisannya menyatakan bahwa ada kekhawatiran pada masa
yang akan datang produk syariah dinilai hanya sekedar labelisasi saja, tidak
semua yang ada di perbankan konvensional harus diadopsi oleh perbankan syariah.
Kartu kredit syariah yang tidak menggunakan suku bunga dalam pembayarannya
bukan berarti diperbolehkan dalam perspektif Islam, tetapi harus dilihat dari
berbagai aspek misal segmen pasar, perilaku nasabah, dan adat atau kebiasaan
nasabah yang menyertainya. Sehingga kebaikan dari berbagai aspek dapat
memberikan solusi bagi kebaikan umat Islam.
Berdasarkan field research yang
telah dilakukan penulis menemukan beberapa fakta mengenai ketidaksesuaian
beberapa hal dalam produk kartu kredit syariah terhadap ketentuan dalam fatwa
DSN MUI tentang kartu kredit syariah, yaitu pertama, ketidaksesuaian biaya
ta’widh yang menggunakan hari keterlambatan sebagai perhitungan kompensasi yang
harus dibayar sebagaimana contoh penerapan biaya ta’widh yang dilakukan salah
satu bank penerbit sebagai berikut
Kategori
|
Classic
|
Gold
|
Platinum
|
0 DAYS – 29 DAYS
|
15.000
|
35.000
|
110.000
|
30 DAYS – 59 DAYS
|
20.000
|
50.000
|
160.000
|
60 DAYS – 89 DAYS
|
25.000
|
65.000
|
220.000
|
90 DAYS – 119 DAYS
|
40.000
|
100.000
|
340.000
|
120 DAYS – 149 DAYS
|
50.000
|
120.000
|
410.000
|
150 DAYS – 179 DAYS
|
60.000
|
150.000
|
480.000
|
>180 DAYS
|
320.000
|
800.000
|
2.800.000
|
Padahal ta’widh yang
seharusnya adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya riil yang dikeluarkan oleh
bank syariah dalam rangka penagihan kewajiban si pemegang kartu, bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang hilang akibat
keterlambatan si pemegang kartu dalam membayar angsuran yang telah jatuh tempo.
Permasalahan kedua adalah ditemukannya
keterbatasan kartu kredit syariah dalam membatasi transaksi non halal yaitu
produk non halal seperti minuman keras yang terdapat pada supermarket); berikut merupakan tabel kode
master card
MCC
|
TCC
|
MCC Description
|
MCC Category
|
5813
|
F
|
Bars, Cocktail Loungers,
Dischotheques, and Tavern-Drinking Places (Alcoholic Beverages)
|
Miscellaneous Stores
|
5921
|
R
|
Package Stores, Beer, Wine, and
Liquor
|
Miscellaneous Stores
|
7273
|
R
|
Dating and Escort Services
|
Personal Service Providers
|
7995
|
U
|
Gambling Transaction
|
Amusement & Entertainment
|
Di dalam
penggolongan mesin EDC yang dilakukan oleh MasterCard, penggolongan mesin EDC
ini didasari pada jenis usaha, disebut master card code (MCC). Dalam
mesin EDC ditanamkan kode-kode sesuai jenis usaha. Bank syariah bekerjasama
dengan Mastercard sudah memastikan akan memblokir mesin EDC yang jenis usahanya
tidak sesuai dengan syariah seperti tempat perjudian, club malam,
diskotik, dan tempat khusus menjual minuman keras. Akan tetapi terdapat
keterbatasan bahwa kartu kredit syariah tetap bisa digunakan untuk membeli
minuman keras seperti Bir, Wine dan lain-lain jika bertransaksi di supermarket.
Hal tersebut dikarenakan penggolongan mesin EDC pada supermarket dikategorikan groceries,
dimana tidak termasuk dalam daftar blokir MCC pada tabel diatas
Permasalahan ketiga adalah adanya penetapan biaya administrasi suatu program
pada kartu kredit syariah yang dikaitkan dengan besarnya jumlah transaksi.
(lihat tabel berikut!)
Program
Belanja Cicilan
|
||
Nilai
Transaksi [Rp]
|
Biaya
Adm
|
Keterangan
|
Sd.
2.000.000
|
400.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
>2.000.000
sd 4.000.000
|
800.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
>4.000.000
sd 6.000.000
|
1.200.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
>6.000.000
sd 8.000.000
|
1.600.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
>8.000.000
sd 10.000.000
|
2.000.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
>10.000.000
sd 90.000.000
|
2.400.000
|
Periode
cicilan 12 bulan
|
Program
Dana Talangan
|
|
Nilai
Transaksi [Rp]
|
Biaya Adm [Rp]
|
s/d
1.200.000
|
25.000
|
>1.200.000
s/d 2.400.000
|
50.000
|
>2.400.000
s/d 3.600.000
|
75.000
|
>3.600.000
s/d 4..800.000
|
100.000
|
>4.800.000
s/d 6.000.000
|
125.000
|
>6.000.000
s/d 7.200.000
|
150.000
|
>7.200.000
s/d 8.400.000
|
175.000
|
>8.400.000
s/d 9.600.000
|
200.000
|
>9.600.000
s/d 10.800.000
|
225.000
|
>10.800.000
s/d 12.000.000
|
250.000
|
>12.000.000
s/d 13.200.000
|
275.000
|
>13.200.000
s/d 14.400.000
|
300.000
|
>14.400.000
s/d 15.600.000
|
325.000
|
>15.600.000
s/d 16.800.000
|
350.000
|
>16.800.000
|
375.000
|
Padahalnya seharusnya biaya
administrasi harus berupa biaya tetap (fix cost) yang tidak dikaitkan
dengan jumlah transaksi dan pembiayaan.
Menurut
Firmanda (2014) Istilah syari’ah card banyak dimunculkan oleh akademisi maupun
praktisi diantaranya ada yang menyebutkan dengan Kartu Kredit Syari’ah, Islamic
Credit Card dan sebagainya. Pada prinsipnya istilah tersebut memiliki makna
yang sama yang menggunakan kata kredit, unsur dari kredit itu sendiri
mengandung riba, sehingga istilah tersebut tidak tepat untuk digunakan. Kemudian penamaan istilah syariah
card dalam fatwa DSN MUI juga memiliki kelemahan karena menimbulkan
ambiguitas bila diartikan berdasarkan istilah kata. Syari’ah Card secara kata
diterjemahkan menjadi “Kartu Syari’ah”. Kartu Syari’ah atau Syari’ah Card
menurut praktisi dapat bermakna luas yang terbagi menjadi 2 (dua) yaitu kartu
debit dan kartu pembiayaan (kartu kredit dalam istilah konvensional). Sehingga
menurut praktisi, istilah kartu kredit dalam Islam lebih tepat menggunakan
istilah Kartu Pembiayaan Syariah. Sementara menurut Abdul Wahab Abu Sulaiman
dalam Nugroho (2018) bahwa istilah kartu kredit yang biasa disebut para ekonom
timur tengah sebagai Bithaqah al-‘Itiman dirasa kurang pas. Menurut
beliau istilah yang pas adalah Bithaqah al-Iqradh, karena esensi yang
timbul dari praktik penggunaan kartu kredit adalah praktik pinjam-meminjam yang
dalam istilah fiqihnya disebut al-Qardh.
Islam
membolehkan penggunaan kartu kredit sebagai media pembayaran selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariat dengan dalil Masalih Mursalah sehingga
memberikan kemudahan bagi masyarakat muslim dalam hal sosio ekonomi (Billah,
2007). Namun menurut Ferdian et al (2008) bahwa kartu kredit syariah
tidak berbeda dengan kartu kredit konvensional masih mengandung riba secara
implisit jika terdapat tambahan diluar biasa administrasi. Karena itu jika
kartu kredit berfungsi sebagai kartu tagihan maka hal itu dibolehkan. Namun
masih terjadi perdebatan sampai sekarang di kalangan masyarakat muslim
Indonesia khususnya beranggapan bahwa kartu kredit syariah sama saja seperti
kartu kredit konvensional, dan bisnis kartu kredit dinilai kurang sejalan
dengan prinsip syariah karena mendorong masyarakat bersikap konsumtif.
Menurut
Koesumasari (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa terdapat banyak responden
muslim yang masih menggunakan kartu kredit konvensional karena beranggapan
kartu kredit syariah sama saja seperti kartu kredit konvensional. Namun menurut
Ibrahim (2010), Nuhtia (2015), dan Wardani (2016) dalam penelitian mereka
menyatakan kebolehan penggunaan kartu kredit syariah dengan syarat terhindar
dari hal-hal yang dilarang dan sesuai dengan prinsip syariah serta mengikuti
ketentuan fatwa yang dirumuskan DSN-MUI.
Kehadiran kartu
kredit berbasis syariah menimbulkan pro dan kontra karena secara umum bentuknya
dan penggunaannya hampir sama antara kartu kredit biasa dengan kartu kredit
syariah. Menjadi pertanyaan bagaimana mekanisme pengambilan keuntungan dalam
kartu kredit syariah. Dalam kartu kredit syariah terdapat strategi market yang membedakan
diantaranya bebas bunga dan mengambil keuntungan didasari akad-akad syariah
berupa ujroh (upah sewa) atas layanan yang diberikan (Yusuf, 2011). Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas peneliti merasa perlu menganalisis kesyariahan kartu
kredit syariah ditinjau dari produk dan penggunaannya.
Dalam memaknai atau menggali hukum
syariah dalam pembahasan ushul fiqh diantaranya ada yang bersifat tauqifi
dan ijtihadi. Adapun “tauqifi” yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul
fiqh adalah dinuqil dari nash (al-Qur’an dan Hadist), artinya tidak ada
seseorangpun yang boleh membuat-buat. Sementara ijtihadi adalah ketetapan para
ulama yang bersepakat dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
nash namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama
Islam yang terdapat dalam nash.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan lembaga otoritas dan independen yang diakui Negara dalam
mengeluarkan fatwa atau hukum yang berhubungan dengan masalah Syariah agama
Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan,
dan perbankan yang diantaranya adalah fatwa
kartu kredit syariah yang diterbitkan DSN-MUI pada tahun 2006.
Saat
ini baru ada tiga bank syariah dari 34 bank syariah yang ada, yang berani
menerbitkan kartu kredit syariah, diantaranya Bank Danamon Syariah menerbitkan Dirham Card pada tahun 2007, Bank BNI Syariah menerbitkan IB
Hasanah Card pada tahun 2009 dan Bank CIMB Niaga Syariah menerbitkan Syariah
Card. Namun saat ini hanya ada dua kartu kredit syariah saja di Indonesia,
karena Dirham Card telah ditarik peredarannya pada tahun 2013. Oleh karenanya perlu
diketahui apakah kartu kredit syariah di Indonesia sudah sesuai
syariah dan apakah penggunaan kartu kredit syariah di Indonesia sudah sesuai
syariah?.
MAU TAHU PEMBAHASAN LEBIH LANJUT???
SILAHKAN BISA DIPESAN BUKU TERSEBUT (PRE ORDER YA)
judul Buku : Kesyariahan Kartu Kredit Syariah Di Indonesia
Jumlah Halaman : 104 halaman
ISBN : 978-623-7815-25-9
Penerbit : YPSIM Banten
Harga Jual : 55.000
E-Book : 100.000
INFO PEMESANAN
021-55658512
Komentar
Posting Komentar