WAKAF


Pengertian, Rukun dan Syarat Wakaf

Para ahli bahasa menggunakan tiga kata untuk mengungkapkan tentang wakaf, yaitu: al-waqf (wakaf), al-habs (menahan), dan at-tasbil (berderma untuk sabilillah) (Al-Kabisi, 2004). Ibn Manzur dalam kitab Lisan al-Arab mengatakan, kata habasa berarti amsakahu (menahannya). Adapun al-Fairuzabadi dalam al-Qamus al-Muhit menyatakan bahwa al-habsu berarti al-man‘u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat h}absu asy-syai’ (menahan sesuatu). Jadi, baik al-habs maupun al-waqf sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-man‘u (mencegah atau melarang), dan at-tamakkus (diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapa pun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut (Kasdi, 2017).
            Wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagai suatu lembaga keagamaan, disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (pemberi wakaf) di hari akhirat karena pahalanya karena pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Adapun dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf (Hasanah, 2002)
Menurut Abdurrahman Kasdi (2017), definisi wakaf mengandung delapan hal, yaitu:
1.      menahan harta agar tidak dikonsumsi atau digunakan secara pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf berasal dari modal yang bernilai ekonomi dan bisa memberikan manfaat, seperti sekolah sebagai tempat belajar, kendaraan memberi manfaat bagi orang bepergian dan masjid sebagai tempat shalat.
2.      definisi wakaf ini mencakup harta, baik yang tetap dan tidak bisa bergerak seperti tanah dan bangunan, dan maupun berupa benda bergerak, seperti buku dan senjata, atau berupa barang seperti peralatan dan kendaraan, atau berupa uang seperti deposito dan pinjaman, atau bisa juga berupa manfaat yang mempunyai nilai uang seperti manfaat pengangkutan khusus orang sakit dan lanjut usia, atau berupa manfaat dari harta benda tetap yang diwakafkan oleh penyewa.
3.      mengandung pengertian melestarikan harta dan menjaga keutuhannya, sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara langsung atau diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang. Dengan demikian, definisi ini menerangkan kelanjutan adanya harta atau benda yang diwakafkan, sehingga dapat memberi manfaat dan shadaqah yang terus berjalan seperti yang telah digambarkan oleh Nabi Muhammad. Pengertian menjaga dalam definisi ini juga mencakup makna melindungi kepengurusan dan nilai ekonomi barangnya, sehingga wakaf dapat menghasilkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf tersebut.
4.      definisi ini mengandung pengertian berulang-ulangnya manfaat dan kelanjutannya baik yang berlangsung lama, sebentar atau selamanya. Adanya manfaat yang berulang-ulang dan kelanjutannya mengandung pengertian bahwa wakaf tersebut terus berjalan. Keberlangsungan wakaf tergantung pada jenis wakafnya atau batasan waktu yang ditetapkan oleh wakif, terkecuali s}adaqah biasa dan bersifat sederhana yang biasanya dimanfaatkan sekali secara langsung dengan cara menghabiskan barangnya. Jadi, shadaqah disebut jariyah apabila terus berlangsung atau selama manfaat wakaf dapat dimanfaatkan secara berulang-ulang, walaupun berulang-ulang dalam waktu yang tidak sangat lama, maka itu juga disebut shadaqah jariyah.
5.      definisi wakaf ini mencakup wakaf langsung, yang menghasilkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan, sebagaimana juga mencakup wakaf produktif yang memberi manfaat dari hasil produksinya, baik berupa barang maupun jasa serta menyalurkan semua laba bersihnya sesuai dengan tujuan wakaf.
6.      mencakup jalan kebaikan umum untuk keagamaan, sosial dan lain sebagainya, sebagaimana juga mencakup kebaikan khusus yang manfaatnya kembali kepada keluarga dan keturunannya, atau orang lain yang masih ada hubungannya dengan wakif.
7.      mencakup pengertian wakaf menurut fikih dan Perundang-undangan, bahwa wakaf tidak terjadi kecuali dengan keinginan satu orang yaitu wakif saja.
8.      mencakup pentingnya penjagaan dan kemungkinan bisa diambil manfaatnya secara langsung atau dari manfaat hasilnya. Ini menentukan tugas yang mendasar bagi kepengurusan wakaf, dan peranannya dalam menjaga kelestariannya dan menyalurkan manfaatnya bagi orang-orang yang berhak menerima wakaf baik dari masyarakat umum maupun kelompok tertentu.

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat yaitu (Direktorat Pembedayaan Wakaf, 2006) :
1.      Wakif (orang yang mewakafkan harta); dengan syarat Merdeka, Berakal Sehat, Baligh
2.      Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan); dengan syarat harus Mutaqawwam (dapat disimpan dan halal), ‘ainun ma’lumun (diketahui dengan yakin), milku-t-tam (milik penuh), dan musya’ (terpisah, bukan milik bersama)
3.      Mauquf’alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf); dengan syarat sah menurut pandangan Islam
4.      Shighat (pernyataan atau ikrar wakif dengan ucapan atau tulisan atau isyarat sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan  sebagian harta bendanya); dengan syarat munjazah (terjadi seketika/selesai), ta’bid (memberi wakaf kepada), tanjiz (diberikan kepada yang sudah ada bukan akan ada), ilzam (mengikat tanpa khiyar); dan menjelaskan pihak yang diberi wakaf.
5.      Di Indonesia khususnya, terdapat dua tambahan rukun menurut UU No. 41 Tahun 2004, pasal 6 yaitu:
1)      Nadzir (Pengelola Wakaf); meliputi perseorangan (minimal tiga orang), organisasi atau badan hukum
2)      Jangka waktu wakaf, hanya untuk wakaf uang dalam jumlah cukup banyak

Dasar Hukum Wakaf

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhan-mu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.” Q.S Al-Hajj: 77
Berdasarkan ayat tersebut, para ulama berpendapat bahwa wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Taqiyudin Abu Bakar Muhammad al-Hushni dalam kitabnya yang berjudul Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar‟  dalam Syed Ahmad Semait (2003) menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf.
عن أبي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع يه أو ولد صالح يدعو له
“Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya. (HR. Muslim)
Dalam hadist tersebut dikatakan wakaf termasuk sebagai amal jariyah. Dalam perspektif ini, wakaf dianggap sebagai bagian dari amal. Secara umum, amal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu amal yang wajib dan amal yang sunnah. Amal yang sunnah pun dapat dibedakan menjadi dua pula yaitu: amal yang pahalanya tidak senantiasa mengalir, dan amal yang pahalanya senantiasa mengalir meskipun pihak yang menyedekahkan hartanya telah meninggal dunia.
Ahmad Rafiq (1998) menjelaskan selain amal jariyah, wakaf disebut pula dengan al-habs. Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam, cegahan, rintangan, halangan, “tahanan”, dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal). Penggunaan kata al-habs dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa riwayat. Antara lain:
أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا , فَتَصَدَّقَ عُمَرُ , أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ , فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ , لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Dari Ibnu Umar ra. berkata, bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mendapatkan petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak juga diwariskan. Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir miskin, kaum kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta. (HR Muslim).
            Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhori, Umar menyedekahkan pokoknya, tidak boleh dijual dan juga tidak boleh dihibahkan. Tetapi buahnya di sedekahkan.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: “Umar pernah berkata kepada Nabi SAQ; Bahwa seratus bagian yang menjadi milikku di Khaibar itu adalah harta yang belum pernah saya peroleh yang sungguh lebih kukagumi selain harta itu, lalu sungguh aku berkehendak untuk menyedekahkannya (mewakafkannya). Kemudian Nabi SAW menjawab, “Tahanlah pokoknya dan wakafkanlah buah (hasil)nya”. (HR. Nasai dan Ibnu Majah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akad-akad Muamalah

Manajemen Risiko Islami

Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter