Transaksi atau Jual-Beli di dalam Islam
Transaksi atau Jual-Beli di dalam Islam
oleh: Achmad Boys Awaluddin Rifai
1.
Pengertian Jual
Beli
Jual
beli dalam bahasa Arab disebut al-Bay’, yang secara etimologi berarti
memiliki, membeli (arti sebaliknya), ada
juga yang mengatakan bahwa ia merupakan sebuah ungkapan tentang ijab qobul
ketika terjadi pertukaran antara barang dengan barang atau barang dengan nilai
tukarnya. [al-Mathla’ hal. 255]
Ada juga
yang mengartikan : “Pertukaran harta dengan harta.” [Maqoyisul lughoh
1/327, Lisanul ‘Arab 8/23, al-Mishbah 1/27]
Secara
etimologi, jual beli berarti al-mubadalah (saling tukar menukar/barter).
Adapun secara terminologi yaitu tukar menukar harta dengan jalan suka sama suka
(an-taradhin). Atau memindahkan kepemilikan dengan adanya penggantian,
dengan prinsip tidak melanggar syariah. [Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M Jilid 3), hlm. 126]
Menurut
Idris Ahmad dalam Fiqih Al-Syafi’iyah, jual beli adalah menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
Dalam
pembagiannya, jual beli terbagi menjadi dua yaitu bay’ musawamah dan bay’
amanah. Bay’ musawamah adalah jual beli biasa yang terjadi pada umumnya,
dimana pembeli tidak tahu berapa harga beli si penjual. Sementara bay’
amanah terbagi menjadi empat, diantaranya:
a.
Tauliyah, dimana penjual
menjual barangnya seharga barang yang dibeli saat pertama kali tanpa mengambil
keuntungan dari si pembeli
b.
Mustarsal, dimana pembeli
tidak tahu berapa harga beli si penjual
c.
Murabahah, dimana penjual
memberi tahu harga beli barangnya dan keuntungannya kepada si pembeli
d.
Wadh’iyah, dimana penjual
menjual barangnya dibawah harga belinya kepada si pembeli
2.
Hukum Jual Beli
Jual beli,
menurut asalnya telah diperbolehkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan Ijma’ ulama. Adapun ayat yang membolehkan jual beli diantaranya
surat Al-Baqarah ayat 2:
“Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba…”.
Dalam
As-Sunnah dijelaskan bahwa usaha yang utama adalah hasil karya tangan seseorang
dan jual beli yang baik. Dalam hadist lain dijelaskan:
“Al-Bay’ani bi al-khiyarr ma lam yatafarraqa
(penjual dan pembeli keduanya mempunyai hak untuk menentukan transaksi selama
keduanya belum berpisah)”
Ulama telah
sepakat bahwa berniaga itu dibolehkan secara total, selama tidak mengabaikan
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan wajib. Apabila menyebabkan pelakunya
meninggalkan kewajiban, maka perniagaan itu yang demikian dilarang oleh agama (Q.S.
Al-Jum’ah: 9). Begitu juga, transaksi jual beli dalam rangka membantu
kemaksiatan, atau mengakibatkan hal-hal yang diharamkan agama, dilarang dalam
syariat Islam. Alasannya, karena dalam sarana mempunyai kedudukan yang sama
dengan tujuan, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 2:
“…dan bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan
takwa, dan jangan bertolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Transaksi
jual beli yang diharamkan syariat diantaranya jual beli arak, narkotika,
bangkai, lemak bangkai, babi, berhala dan semua jenis transaksi yang mengandung
unsur penipuan, penggelapan atau berdampak negatif bagi orang Islam atau bagi
ilmu pengetahuan. Hal ini akan membawa perpecahan ikatan persaudaraan seperti yang di
khawatirkan oleh Nabi. Dalam salah satu sabda Rasul dijelaskan:
Dari Jabir bin ‘Abd Allah; ia mendengar Rasulullah
bersabda: “Allah
dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli narkotika, bangkai, lemak bangkai,
babi, berhala-berhala.” Kemudian
Rasulullah ditanya: : Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai lemak
bangkai? Sebab lemak itu dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki
kulit; dan orang-orang dapat menggunakannya buat penerangan.” Beliau menjawab: “Tidak boleh. Itu haram.”
Kemudian pada waktu itu beliau bersabda pula: “Terkutuklah orang-orang Yahudi.
Ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka melumatkannya lalu menjualnya
dan memakan dari penjalannya itu.”
Dalam sabdanya
yang lain, sebagai yang diriwayatkan Muslim dijelaskan:
“Nabi melarang memperjualbelikan barang yang mengandung tipu daya.”
3.
Rukun dan Syarat
Jual Beli
Rukun jual beli diantaranya: orang yang berakad (penjual dan pembeli); shighat
(lafal ijab dan qabul); barang yang dibeli; nilai tukar pengganti barang.
Sementara syarat jual beli diantaranya: bagi yang berakad (saling ridha
antara penjual dan pembeli; orang yang diperkenankan secara syariat; memiliki
hak penuh atas barang yang diakadkan), bagi barang yang diakadi (dapat diambil
manfaatnya secara mutlak; dapat dikuasai; diketahui oleh yang berakad)
4.
Khiyar dalam
Jual Beli
Yaitu
memilih yang
terbaik dari dua perkara untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli.
Khiyar
diklasifikasikan menjadi delapan jenis, yaitu:
a.
Khiyar Majlis
(pilihan majelis), bagi yang berjual beli mempunyai hak selama masih di
majelis;
b.
Khiyar Syarat (pilihan bersyarat),
masing-masing mensyaratkan adanya khiyar pada saat akad atau sesudahnya dalam
waktu tertentu;
c.
Khiyar Ghabn (penipuan), pilihan
melenjutkan transaksi atau tidak bagi orang yang merasa tertipu karena diluar
kebiasaan;
d.
Khiyar Tadlis (barang cacat), pilihan
yang disebabkan pada saat terjadi akad kecacatan barang tidak dijelaskan bahkan
cenderung ditutupi;
e.
Khiyar Aib (tercela), pilihan yang
disebabkan pada saat terjadi akad aib barang tidak disampaikan;
f.
Khiyar Takbir bitsaman (melebihkan
kadar), menyampaikan khabar tidak sesuai dengan hakikat barang baik jumlah,
harga, atau kualitas;
g.
Khiyar bisababi takhaluf (sebab
berselisih), pilihan karena terjadi perselisihan dalam hakikat barang baik
jumlah, harga, atau kualitas;
h.
Khiyar Ru’yah (pandangan), pilihan
karena terjadi perubahan sifat barang dibanding penglihatan sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar